Puasa merupakan terjemahan dari kata arab siyam dan shaumu . dari segi etimologi atau kebahasaan , puasa berarti ” Manahan diri dari sesuatu atau meninggalkan sesuatu , seperti maninggalkan makan, minum, berbicara, atau aktivitas apapun ”.
Dari segi terminology atau istilah syara’ puasa adalah “ menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan seks, sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari, dengan ( mengharap ) perhitungan Allah, mempersiapkan diri untuk bertaqwa, dengan mendekatkan diri kepada Allah dan mendidik kehendak “ ( Rasyid-Rida, t.t.:143 ).
Puasa dalam arti menahan makan dan minum saja telah dikenal oleh umat-umat terdahulu. Hingga kini puasa senantiasa dilakukan orang, kendati dengan motivasi tang berbeda-beda (Shihab, 1992:195 ). Secara lahiriah, puasa adalah ibadah badaniah, tetapi secara batiniah, nilainya terletak pada jiwa pelakunya, yang tentu tidak diketahui kecuali oleh Allah dan lantaran itu pula Allah yang mengetahui kadar ganjarannya.
Pengertian puasa yang kongkret dalam islam sebagaimana rumusan di atas itulah yang membedakan antara puasa dalam islam dengan berbagai macam puasa yang berkembang di muka bumi ini, menyadari begitu istimewanya puasa dalam islam, Al-Ghazali menerangkan bahwa puasa adalah seperempat iman; mengingat Sabda Nabi : “ Siyam adalah separuh dari kesabaran “, dan mengingat Sabda Nabi : “ Kesabaran merupakan separuh dari iman” (Ash-Shiddiqi, 1973:55 ).
Pada hakekatnya puasa merupakan pendidikan dan latihan kejiwaan agar manusia mampu mengendalikan diri serta mrngarahkan keinginan-keinginan. Pengendalian dan pengarahan ini sangat dibutuhkan oleh manusia, baik pribadi maupun kelompok, karena secara umum jiwa manusia sangat mudah terpengaruh oleh berbagai hal, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kesadaran untuk mengendalikan diri serta tekad yang kuat untuk melawan bisikan atau bujukan yang negatif ( Shihab,1992:198 ).
Menurut Al-Qur’an, siyam itu kewajiban universal artinya siyam juga telah di wajibkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW.maka inti dari pengertian puasa (siyam ) adalah suatu bentuk ibadah dengan menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh sepanjang hari dari terbit fajar hingga matahari terbenam dengan mengharap ridho dari Allah SWT. (Prof. Dr. Syekh Mahmud Syaltout, 1994:110 ).
B. DASAR DISYARIKATKANNYA PUASA
Puasa yang menurut para ahli merupakan salah satu bentuk peribadatan yang paling awal dan paling luas tersebar di seluruh umat manusia ini (Masjid, dalam Rahman(ed.), 1994:412), disyariatkan oleh islam dalam bentuk puasa ramadhan sebagai kewajiban sekaligus rukun islam pada tahun kedua Hijriyah atas dasar perintah Al-Qur’an dan sunnah Rasulillah.
a) Dasar Al-Qur’an:
Allah berfirman:
Artinya: “ Wahai orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang –orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (Q.S Al-Baqarah (2): 183
b) Dasar As-Sunnah:
Hadis dari ibnu umar r.a., ia berkata: “ Orang-orang melihat terbitnya hilal (awal bulan ), lalu saya memberitahukan kapada rasulullah, bahwa saya melihatnya, maka beliau berpuasa dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa”. (HR. Abu Dawud dan disyahkan oleh Hakimdan Ibnu Hibban) (Asqalani, t.t.:13331).
Di samping berdasarkan aturan Al-Qur’an dan sunnah rasul, syariat puasa juga memiliki landasan pemikiran logis sebagai berikut:
a. Manusia dalam pandangan Al-Qur’an diciptakan dari tanah dan ruh illahi. Karena manusia berasal dari tanah, ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan unsur ruh illahi mengantarkannya guna memenuhi kebutuhan rohani. Dalam kenyataannya, daya tarik kebutuhaan jasmani lebih kuat disbanding kebutuhan rohani. Manusia muslim ditugaskan oleh Allah untuk menciptakan keseimbangan antara keduanya dan cara yang ditempuh untuk itu adalah dengan menetapkan peraturan-peraturan yang tidak memberatkan sehingga keseimbangan yang dimaksud dapat dicapai. Di antara kewajiban itu adalah kewajiban puasa.
b. Kebutuhan naluri itu bertingkat-tingkat, kebutuhan fa’ali, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan berserikat dan sebagainya.
Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan fa’ali, yakni makan, minum, dan hubungan seksual, merupakan kebutuhan naluri manusia paling mendasar. Kemampuan manuisa untuk membebaskan diri dari kebutuhan fa’ali, walau dalam batas sementara, menunjukkan kemampuannya untuk mengendalikan terhadap kebutuhan-kebutuhan lain yang justru berada di tingkat bawahnya. Dari sinilah dapat dipahami mengfapa pengendalian diri terhadap kebutuhan fa’ali menjadi syarat syahnya puasa.
c. Manusia diberi rasa lapar dan dahaga yang bila memuncak tidak dapat dibendung, seperti halnya naluri dorongan seksual. Semuanya itu merupakan alat yang dapat mengantarkannya untuk pemeliharaan diri serta kelanjutan jenisnya.
Manusia memiliki keistimewaan, yaitu kebebasan bertindak dan memilih aktivitsnya, termasuk makan, minum, dan berhubungan seks. Kebebasan ini dapat membahayakan diri serta menghambat pelaksanaan fungsi dan peranannya jika tidak diadakan pengaturan atau pengendalian. Kenyataan menunjukan bahwa manusia banyak yang melampaui kadar dalam memenuhi kebutuhan jasmaninya. Dengan demikian, perlu diadakan latihan-latihan guna menghindari terlepasnya kendali dorongan naluri kebutuhan fa’ali, dan inilah yang ditempuh oleh islam dengan syariat puasanya.
d) Potensi dan daya manusia sangat terbatas, sehingga jika aktivitas terfokus pada pemenuhhan kebutuhan jasmani, akibatnya ia tidak memiliki daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rohani atau kejiwaan dan penalaran. Kemampuan untuk membatasi siri dari pemenuhan kebutuhan di satu bidang saja amat diperlukan dan itulah sebabnya terdapat aturan puasa dalam islam (Shihab, 1992:195-197 ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar